Milik Siapa?

Masih saja, pagi ini aku bersamanya

Kupeluk tangan kirinya

kusandarkan kepalaku pada bahunya

Perlahan, matahari mengintip kami

aku masih takut.

“I’m happy.. But I still feel nothing..

Sejenak ku terdiam, sembari kutarik nafas dalam-dalam.

“Do you know?”

“Listen to me please…” aku menatapnya. Nanar. Erat tetap, kupeluk tangannya.

Angin berdesir. Suara burung mengusik kami

Kulepas pelukan tanganku, kutarik nafas singkat. Perlahan kuberdiri. Penasaran menatap ke depan lekat, mengawasi akankah matahari terus naik hingga awan itu kalah?

“Hari ini mendung… Kau tahu?

Tapi aku masih merindukan matahari

Rindukah ia padaku?

Bagaimana menurutmu?”

Ku memutar badan, memastikan jiwanya tetap mengawasiku.

“Ada apa adinda?” sudut mata yang runcing itu, membuatku makin tak bisa berkata. Ku putar lagi badanku, biarlah matahari dan awan abu itu yang menebak dulu isi hatiku.

“Ibu… Aku haus…” Kubuka kata hatiku. Syair awal, yang membuatku tertunduk lesu menatap tanah dan rerumputan basah.

“Kasih… Aku rindu…” Tak tahan lagi, air mata itu pun jatuh seketika saat sekuat tenaga kutahan dengan menengadahkan kepala pada langit.

“Sebentar lagi… Bersabarlah. Air mata itu, ingat milik siapa…” Nada suara itu, adalah segalanya bagiku. Dulu, kini, hingga esok.

Dims | 20.10.16

*bersambung

Tinggalkan komentar